CSS

Perjalanan Punk

· 0 komentar
* ABOUT ME
* punk bagi penulis


SEBELAS TAHUN MARJINAL


Oleh erickningrat 99 Komentar

Kategori: Tak Berkategori, anak punk, dan musik, komunitas punk, marjinal, musik, musik punk, punk hari ini dan street punk
Tags: anak punk, berita musik, kebebasan, komunitas punk, komunitas street punk, marjinal, skinhead, street punk, the oi

sumber www.koran-marjinal.blogspot.com



Pada bulan Desember 2007 yang lalu, Marjinal bermain musik pada gelaran pameran bertajuk Ibumi – ibu bumi, di sculpture park Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali. Pameran yang melibatkan seniman dari Bali, Yogyakarta dan Bandung itu adalah rangkaian gelaran kesenian yang bertepatan dengan Konferensi Perubahan Iklim (Climate Change Conference),yang melibatkan sebanyak 189 negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan.

Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai lingkungan, melalui “Tri Hita Karana”, hubungan harmonis dengan lingkungan, antarmanusia dan Tuhan.
Dengan gitar dan jimbe yang ditabuh rampak, Mike dan Bob menyanyikan Hukum Rimba, Negri Ngeri, Marsinah, dll. Marjinal cukup membetot perhatian hadirin.
“Baru kali ini kita main di acara pameran, di depan seniman,” ujar Bob seusai bermain musik.
Kemudia dia dan Mike bersama para seniman berjalan sejauh duaratus meter menuju tanah lapang yang dipeluk bukit-bukit kapur Jimbaran. Di sana, para seniman dan siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Jimbaran, menanam ratusan bibit pohon damar.
Marjinal berkesempatan pula berkolaborasi dengan sekeha gong Banjar Ungasan-Jimbaran, yang memainkan gambelan Bali. Mike dan Bob menabuh jimbe bersahut-sahutan dengan suara kendang, kencreng dan gong. Suasana semakin hangat. Gerimis pun urung turun di bukit-bukit Jimbaran.
Di tempat yang lain, di Nusa Dua, para pemimpin dunia sedang mengadakan konfrensi. Pemanasan bumi (global warming), menjadi topik utama. “Ini momen kita menyuarakan kepada dunia, perlu ada sistem yang baru untuk menyelamatkan bumi dari emisi gas rumah kaca. Amerika harus mendengar jeritan umat manusia. Indonesia jangan sampai cuma ketiban malapetaka akibat nafsu buta industri mereka,” kata Mike kepada para seniman.
Pelbagai bencana alam di Indonesia, menurut Mike, adalah akibat dari sistem yang yang mengedepankan ketamakan manusia. Pohon ditebang. Terumbu karang hancur. Tanah longsor. Banjir, dll.
“Gue ingat kampug kita, jadi langganan banjir,” celetuk Bob.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, para seniman berkesempatan berziarah di desa-desa yang tertelan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Matahari bersinar sangar. Panas menyengat. Kubah sebuah mushola nampak menyembul. Di sudut lain nampak pucuk atap-atap rumah. “Di sana pabrik tempat Marsinah bekerja,” ujar seorang tukang ojek, telunjuknya mengarah pada atap seng yang sedikit menyembul di padang lumpur panas. Asap masih mengepul. Marjinal menyenandungkan Marsinah, sebuah ode untuk buruh perempuan yang mati memperjuangkan hak-hak buruh itu.
Tiba-tiba seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang mempunyai masa kanak-kanak di sebuah desa yang kini tertelan lumpur panas, spontan membuka busana. Mulutnya menggumamkan lata-kata, mungkin mantra. Ia ingin menggelar performance art. Tapi dengan sigap dicegah aparat yang membopongnya menjauhi lumpur panas. Asap lumpur masih mengepul. Sang seniman histeris. Meradang. Menerjang. Para seniman yang lain menenangkan.
Rombongan melanjutkan perjalanan.
Di Yogyakarta, Bob dan Mike berkolaborasi dengan pelukis Dipo Andi. Mereka menuangkan perjalanan ziarah ke lumpur panas Lapindo dalam sebuah lukisan. Bob melukis wujud tengkorak berdasi. Dipo Andi membuat sapuan bidang dan garis lalu membubuhkan tulisan BAH NERAKA. Mike menuliskan lirik lagu Luka Kita. Novelis Muhidin M. Dahlan tak ketinggalan menuliskan kalimat yang ia kutip dari Mahatma Gandhi:” Bumi adalah sorga/ yang rusak jadi neraka/ oleh orang-orang dungu hiruk-pikuk…
Di penghujung 2007, Marjinal pulang kampung, kembali ke markas di Setu Babakan, Jakarta. “Gue kangen nyokab,” kata Bob, yang merindukan bertemu ibunya. Sedangkan Mike menyiapkan acara mancing bersama warga di sebuah empang yang dikelola secara swadaya. “Mancing itu kebutuhan. Sambil merenung dan melatih kesabaran. Baru kepikiran… Marjinal udah jalan sebelas tahun…,” kata Mike sambil menghela nafasnya.
Sebelas tahun Marjinal berjalan. Ibarat seorang bocah yang lagi gesit-gesitnya, ingin mencoba ini dan itu dengan rasa ingin tahu nan besar. “Marjinal sebagai komunitas memang sebelas tahun jalan, tapi yang terlibat di sana kan udah bukan bocah lagi. Komunitas ini bukan ruang bermain bocah lagi, tapi jadi suatu jalan hidup,” tutur Mike.
Menurut Mike, apa yang dicapai Marjinal hari ini adalah tidak lepas dari dukungan warga kampung Setu Babakan.
Marjinal telah merilis empat album: Ditindas atau Bangkit Melawan, Anty Military, Termarjinalkan dan Predator. Melalui lagu-lagu yang dikumandangkan empat album itu, Marjinal mulai dikenal publik, khususnya scene punk.
Sebagian besar publik mengetahui Marjinal hanya dari lagu-lagunya. Mereka gak tahu, personil Marjinal seperti apa. Publik baru tahu kemudian setelah Marjinal diundang manggung di beberapa gelaran musik (gigs) di beberapa daerah, sampai ke kampung-kampung di pojok paling pelosok Indonesia. Ketika bertemu player Marjinal, orang-orang makin suka karena mereka mudah diajak bersahabat.
Dalam setiap gigs, Marjinal selalu membuka work-shop cukilan kayu dan cetak sablon. Pada waktu tertentu kadangkala diisi diskusi yang serius. Atau sekadar bincang-bincang santai. Ternyata Marjinal jenaka pun bisa!
Awalnya, orang kalau melihat sosok Mike yang tinggi atletis dengan tattoo yang tergambar di pergelangan, leher hingga kepalanya, yang dilebati rambut gimbal, bikin orang ketar-ketir juga. Tapi begitu melihat seulas senyum dan vokalnya yang rada empuk bersahabat, orang-orang pun mendekat menjabat tangannya. Atau saling bertegur-sapa.
Sedangkan dengan Bob, walau sekujur tubuhnya dirajah dengan ornament tribal serta gambar pencakar langit plus Monas di betisnya… Bob langsung menyapa dan mendekat pada orang-orang yang rada canggung. Bob langsung mengajak bercanda-ria dan menyanyi bersama.
Publik pertamakali mengenal Marjinal, tentu saja, dari lagu-lagunya. Empat album yang telah dirilis beredar di lapak atau distro, bahkan dari tangan ke tangan, namun kini sudah dibajak pula dan beredar di kakilima di pelbagai pojok pelosok Indonesia. Selain itu, publik mengenal Marjinal dari desain cetakan sablon di kaos, yang merupakan bentuk aplikasi karya seni grafis cukilan kayu Marjinal. Kaos desain-desain Marjinal pun kini telah dibajak dan beredar di kaki lima di pelbagai pojok pelosok Indonesia.
“Sampai saat ini kita biarin karya kita dibajak. Hitung-hitung bagi-bagi rejekilah! Itu salah satu bentuk kemenangan komunitas punk, bias diterima secara luas,” ujar Mike sambil terkeh-kekeh.
lirik lagu-lagu Marjinal, menurut pengakuan sebagian besar kaum muda, sangat mewakili kenyataan hidup mereka yang termarjinalkan. Lirik-lirik lagu itu menggedor kesadaran mereka, agar melihat kenyataan lingkungan lalu bangkit menolong diri sendiri. Lagu-lagu itu memberi inspirasi agar kaum muda hidup mandiri.
“Marjinal itu purba banget,” kata seseorang pemuda dari Indramayu, yang enggan disebutkan namanya.
Lho, kok purba?
“Ya, sebagian besar publik pendengarnya tahu Marjinal cuma dari lagu-lagunya,” kata pemuda itu. Ia pun bersama beberapa temannya ketika liburan pergi ke markas Marjinal di Setu Babakan. “Kehidupan orang-orangnya sama persis kayak lagu-lagunya!” katanya.
Yup! Publik mengenal Marjinal dari lagu serta karya seni grafis, cukilan kayu yang diaplikasikan dalam sablon kaos, emblem dan pin. Sebagian besar karya cukilan kayu itu adalah bentuk narasi senirupa yang bersumber dari lirik-lirik lagu Marjinal. Mereka menyadari, lagu dan visual art sebagai media yang sangat ampuh membangun kesadaran kaum muda.
“Kita gunakan ruang publik kota sebagai tempat pameran. Kita berkompetisi dengan media visual yang lain, seperti iklan dan program pemerintah. Poster cukilan kayu dan stensil kita gunakan buat media penyadaran agar kita tidak melulu konsumtif. Kita anti konsumerisme yang selalu diiklankan di ruang public. Makanya kita harus berani merebut ruang publik sebagai ruang media visual kita!,” ujar Bob yang seringkali menggelar karya komik, cukilan kayu dan stensil di beberapa stasiun kereta api.
.
Kita berada di tengah kultur visual abad 21. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menjelma dunia jadi medan kecamuk citra. Pada abad digital ini tiap detik dunia digempur oleh citra yang datang-pergi silih berganti dengan agresivitas dan intensitas tinggi. Invasi citra kini telah dan makin jauh menembus teritori realitas. Dengan kapasitasnya melesatkan imajinasi tanpa batas, citra mampu memanipulasi realitas, atau bahkan menggantinya dengan realitas rekaan yang lebih “real”, lebih meyakinkan, lebih otoritatif.
Tapal-tapal batas antara yang natural dan artificial, antara yang “sungguhan” dan “bohongan”, bukan saja semakin kabur, tapi juga tidak relevan lagi.
Menjadi penghuni pada zaman ini berarti hidup dalam sebuah kebudayaan didominasi gambar, simulasi visual, stereotype, ilusi, reproduksi, imitasi dan fantasi. Masyarakat pascamodernisme dewasa ini dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra, dengan citra visual sebagai panglima.
Dari halaman koran dan majalah, reklame di pinggir jalan, televisi, VCD, DVD, handphone, internet dsb, citra visual membanjiri seluruh dunia hingga ke pojok paling [elosok sekali pun, mengepung setiap individu dengan semua kekuatan seduktifnya berkembang biak dengan subur, teramat subur, over provokatif. Menginvasi segala sector kehidupan dan akhirnya menenggelamkan seluruh tubuh masyarakat kontemporer: mengubahnya jadi “masyarakat tontonan” (society of spectacle), sebuah masyarakat yang menggantungkan eksistensinya pada tampilan, kosmetik efek atraktif –spektakuler. Inilah masyarakat dimana kemasan lebih bernilai ketimbang isi, impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada kontemplasi.

***
Punk sebagai sebuah gerakan subkultur di Inggris dan Amerika muncul dari kantong-kantong kehidupan perkotaan (urban), muncul dari masyarakat industrial. Punk di Indonesia adalah hasil sebuah transformasi budaya akibat dari globalisasi arus bawah. Sebermula punk digandrungi kelas menengah-atas kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Bandung, sebagai bentuk snobisme anak muda perkotaan. Tapi semanjak akhir 1990-an, subkultur punk menjadi sebuah gerakan subkultur yang merasuk sampai desa, kampung atau dusun di pojok pelosok Indonesia.
Beberapa scene punk di kota-kota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang secara berkala membuat gelaran musik (gigs), yang diikuti band-band punk dari desa-desa di sekitarnya. Sebagaian besar kaum muda itu hidup sebagai petani atau pedagang dengan latar budaya agraris yang kuat.
Secara tidak langsung, Marjinal memberi pengaruh terhadap tumbuhnya komunitas punk di Indonesia. Setidaknya, empat album Marjinal album musik punk rock awal yang liriknya menggunakan bahasa Indonesia. Marjinal juga menyuntik rasa percaya diri band-band lokal untuk menciptakan lagu sendiri dalam bahasa Indonesia, ketika band-band punk lokal berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Sepuluh tahun yang lalu,sulit membayangkan sebuah band punk menyanyikan lagu ciptaan sendiri yang berbahasa Indonesia. Marjinal membangun “rumah bahasa” dalam komunitas punk – bahasa Indonesia yang tidak mengalami birokratiasasi, bahasa Indonesia yang mengenali kembali rasa berbahasa, jauh dari slogan-slogan politik bahasa pemerintah yang memaksa warganya berbahasa Indonesia baik dan benar tetapi terasa garing, tanpa rasa. Sepuluh tahun yang lalu ketika band-band punk lokal masih berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Ketika Marjinal mencipytakan lagu berbahasa Indonesia dan menyanyikan di depan publik, mereka menuai cacian dan diremehkan. “Kok punk nyanyi lagu bahasa Indonesia,” kata Mike menirukan keluhan orang-orang ketika itu.
Scene punk sepuluh tahun yang lalu masih berkiblat pada punk di Barat. Mereka acapkali menyanyikan lagu-lagu Sex Pistols, Ramones, The Exploited, dll.
Ketika Marjinal menyanyikan lagu-lagu dengan tema kritik sosial, pun scene punk di Jakarta kaget-kagetan dan mencemooh, “Kok punk ngomongin politik!”
“Ketika itu sebagian besar band punk rock bicara kebebasan, yang fokusnya adalah hubungan lelaki dan perempuan, cinta-cintaan gitu lho. Kita menulis lagu kritik sosial. Atau lagu seperti Cinta Pembodohan yang mengkritik abis segala bentuk cinta-cintaan yang cemen itu!,” ujar Bob.
***
Sebelas tahun Marjinal berjalan melangkah tidak selalu ringan menganyun. Orang-orang datang dan pergi, hidup dan menghidupi komunitas ini. Marjinal selama sebelas tahun membangun “rumah bahasa” sekaligus menatanya, dengan nilai etos gerakan punk Do It Yourself (DIY), aktivisme politis di tingkat akar rumput yang memiliki cakupan luas dan terbuka dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Budaya DIY terutama mencuat pada 1990-an, di Inggris, ketika terjadi percampuran antara aksi protes (sebagai aksi politik langsung) dengan kegiatan pesta (aksi perayaan, festival). Budaya ini menyerukan gerakan counter culture atau underground di Amerika pada 1960-an, di mana politik dan pesta berbaur. Budaya DIY, di tangan Marjinal, menjadi ekonomi koperasi, pemenfaatan teknologi digital dan teknologi komunikasi untuk tujuan-tujuan masyarakat bebas, dan komitmen terhadap teknologi alternative. Mengembangkan sikap berdikari (berdiri di kaki sendiri), sikap independen, termasuk dalam hal memproduksi kebutuhan-kebutuhan estetis: musik fashion, rajah tubuh, aksesoris, buku dan komik.

sejarah komunitas punk

· 0 komentar


Perkembangan baru komunitas punk ini berpuncak pada tahun 2001. Semangat kebersamaan dan persatuan yang di usung melalui slogan Jakarta Punks dimanifestasikan melalui acara Jakarta Bersatu volume 1, yang diadakan pada bulan Februari 2001. Jakarta Bersatu merupakan titik tolak penting bagi terbentuknya kekuatan basis ekonomi politik di komunitas Jakarta. Band-band yang bermain merupakan band-band yang setidaknya pernah menciptakan karya-karya di dalam rekaman kaset. Kriteria ini menjadi penting mengingat bahwa begitu banyak band yang muncul dan hilang begitu saja tanpa memberikan kontribusi karya-karyanya. Acara ini sebenarnya merupakan acara gabungan dengan genre musik hardcore dan skinhead dengan tujuan mempersatukan komunitas musik yang memiliki latar belakang sama.
Acara Jakarta Bersatu menandakan semakin solidnya komunitas Jakarta Punk. Karena proses pembentukan basis produksi ekonomi dan jaring-jaring distribusi telah berjalan membentuk mekanisme pasarnya tersendiri. Acara ini juga memperlihatkan resistensi melalui penolakan terhadap sponsor yang dianggap sebagai jerat kapitalis. Acara yang dihadiri 5000 hingga 7000 penonton ini menjadi bukti bahwa komunitas punk, hardcore dan skinhead dapat mengorganisir acara dengan kapasitas besar, acara yang sebelumnya hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan donasi sponsor institusi besar.
Mereka yang memasuki komunitas punk pada periode setelah masa transisi ini akan terbentuk kesadarannya untuk menolak major label yang berasal dari industri musik besar.
Punk Jakarta Menuju Komunitas Internasional (2001-2006)
Setelah mengalami proses transisi, Jakarta Punk berkembang menuju bentuk yang berbeda dari periode sebelumnya. Pada periode ini, komunitas punk di Jakarta mengalami intervensi dari kapitalisme melalui komodifikasi dan penyerapan simbol-simbol punk menjadi sesuatu yang diproduksi secara massal. Jika pada pergerakan punk periode kedua pihak industri budaya masih mengganggap punk tidak mempunyai nilai jual tinggi, sekarang mereka berpikir sebaliknya: punk di Indonesia (termasuk Jakarta) sudah menjadi sasaran komodifikasi industri (Iskandar Zulqarnain, 2004).
Band seperti Superman Is Dead (SID, dari Bali) menandatangi kontrak dengan perusahaan besar yaitu Sony Music Indonesia. Setelah kejatuhan Soeharto, arus globalisasi begitu deras merasuki komunitas punk Jakarta. Masuknya MTV melalui stasiun televisi lokal seperti ANTV dan Global TV memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan wacana mengenai punk. MTV juga bekerja sama dengan MRA company mendirikan majalah dan radio MTV Trax.
Selain kapitalisme, pengaruh internet juga sedikit banyak mempengaruhi proses interaksi dan sosialisasi komunitas punk di Jakarta. Generasi punk yang lahir pada periode ini tidak banyak mengalami interaksi dan sosialisasi antar sesama punk. Mereka mendapatkan informasi melalui internet dan media. Sebelumnya, generasi punk di Jakarta mengenal band-band punk melalui proses interaksi antar sesama. Sekarang, mereka yang menyatakan dirinya punk hanya mengambil acuan identitas melalui media seperti MTV. Seperti dicatat Iskandar Zulqarnain (2004), melalui MTV, band-band punk komersil Barat, seperti Blink 182 dan Sum 41, masuk membentuk wacana baru mengenai punk di Jakarta. MTV juga memberikan kesempatan bagi band-band punk yang menginginkan masuk televisi untuk dapat menayangkan video klipnya masing-masing. Band punk seperti SID dan Rockets Rockers menyatakan dengan jujur bahwa mereka ingin mendapatkan kesejahteraan lewat punk dengan sukarela melakukan sell-out menjual imej punk sebagai musik pembebasan demi uang (Iskandar Zulqarnain, 2004).
Di sisi lain, keberadaan internet toh memberikan energi positif bagi berkembangan komunitas punk di Jakarta. Melalui internet, hubungan direct contact dengan komunitas punk luar negeri maju pesat. Indonesia dan Jakarta mulai dikenal oleh komunitas punk dunia. Dengan sendirinya, komunitas punk Jakarta memasuki tataran interaksi yang semakin luas. Komunitas Jakarta Punk untuk pertama kalinya kedatangan kelompok band dari luar negeri, Wojcezh dari Jerman. Wojcezh bermain di acara street gigs di depan Pasar Festival Kuningan di Jakarta. Kehadiran Wojcezh di Jakarta merupakan hasil kerjasama teman-teman dari Malaysia-Singapura dengan orang-orang di komunitas Jakarta Punk.
Setelah Wojcezh, dari Jerman datang beberapa band dari luar negeri untuk bermain di Indonesia. Band seperti Battle of Disarm dan Power of Idea dari Jepang; Foco Protesta, Rambo dari Amerika; Phist Crist dari Australia; Topsiturfi dari Singapura, Second Combat band Hardcore dari Malaysia; Masseparation band Grindcore dari Malaysia, Young And Dangerous band Trashcore dari Malaysia, dan Cluster Bomb Unit band dari Jerman yang telah bermain di Jakarta sebanyak dua kali pada tahun 2005 dan 2006.
Kehadiran band-band luar negeri diatas tidak menggunakan bantuan dari sponsor perusahaan-perusahaan donor, seperti Djarum Super atau A Mild. Melalui kerjasama kolektif diantara kelompok-kelompok punk Jakarta, band-band luar negeri tersebut dapat bermain di Jakarta. Salah satu peristiwa penting adalah hadirnya band legendaris the Exploited yang telah eksis di komunitas punk Inggrissejak era 1980-an. Exploited hadir di Jakarta dalam tur Asia Tenggara. Di Indonesia, Exploited mengadakan konser di tiga kota yaitu Jakarta, Bandung dan Malang. Peristiwa lain yang menarik adalah konser yang diadakan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2006 bertempat di Lapangan Bola Cirendeu. Konser berjalan baik tanpa sponsor yang mendukung acara tersebut.
Membaca Sejarah Komunitas Punk Jakarta
Keberadaan punk di Indonesia, khususnya di Jakarta, hadir melalui sebuah proses historis. Kenyataan ini jelas pertentangan dengan klaim yang melihat kehadiran punk di Indonesia a historis dan tanpa dasar yang kuat. Hasil terpenting dari rekonstruksi sejarah adalah ditemukannya periodisasi-periodisasi di dalam sejarah keberadaan punk di Jakarta. Setiap periode memiliki dinamika internal dan eksternalnya masing-masing. Di balik proses sejarah ini terdapat kontradiksi-kontradiksi internal di dalam perkembangan sejarah komunitas punk di kota Jakarta. Dengan kata lain, dari kenyataan historis ini, penulis berusaha untuk memahami sejarah komunitas punk secara kritis. Penulis setidaknya bisa mengidentifikasi tiga refleksi kritis terhadap komunitas Punk Jakarta sebagai sebuah gerakan counterculture:
Pertama, dari keempat periode sejarah terlihat bahwa punk sebagai gerakan perlawanan menemukan bentuk terbaiknya pada periode kedua. Namun, di sini pula terletak permasalahannya. Bila komunitas punk merupakan gerakan counterculture, maka konsistensi sikap politik komunitas punk Jakarta perlu dipertanyakan. Punk sebagai gerakan politik dapat dibaca lebih karena disebabkan oleh faktor infiltrasi gerakan PRD dan kondisi sosial-politik tahun 1997-1999 yang memungkinkan bukan hanya anak punk saja yang berpolitik atau berbicara politik, namun hampir semua orang di Jakarta dapat berbicara politik. Apalagi kondisi ini didorong oleh arus reformasi yang membuka kebebasan berbicara dan berekspresi. Kenyataan sikap politik yang lemah dari komunitas punk Jakarta didukung oleh menurunnya kerja-kerja ataupun pernyataan-pernyataan politik di dalam tindakan keseharian individu-individu didalamnya.
Periode berikutnya yaitu periode III mulai dari tahun 2001 sampai masa sekarang menunjukan secara perlahan bahwa komunitas punk Jakarta mengalami proses depolitisasi seiring dengan menurunnya aktifitas politik masyarakat pasca reformasi politik di tahun 1997-2000. Artinya, komunitas punk Jakarta mengalami stagnasi terhadap aktifitas politik riil. Dengan kata lain, komunitas punk Jakarta terjebak kedalam situasi dan kondisi a politis di dalam sikap dan tindakannya sebagai oposisi terhadap negara dan kapitalisme.
Kedua, perkembangan komunitas Punk Jakarta saat inp (saat tulisan ini dibuat) mengalami kondisi yang memprihatinkan. Banyak dari anggota komunitas punk Jakarta yang bekerjasama dengan institusi-institusi kapitalisme yang sebelumnya mereka klaim sebagai musuh mereka. Contoh peristiwa yang memicu kontroversi adalah masuknya Marjinal, sebuah band punk yang tergabung di dalam kelompok Taring Babi dari Jagakarsa-Depok, ke dalam liputan acara Urban Reality Show di RCTI. Selain itu Kelompok Taring Babi dan Marjinal juga terlibat sebagai figuran di dalam film Naga Bonar 2. Pada scene upacara bendara di film tersebut kita dapat melihat beberapa anak punk dari kelompok Taring Babi mengikuti upacara di film tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa kesadaran kolektif komunitas punk Jakarta melemah. Selain itu, kenyataan ini menunjukan bahwa di dalam tubuh komunitas Punk Jakarta terdapat fragmentasi-fragmentasi di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Perlu ditekankan bahwa penulis menyadari bahwa komunitas tersebut sangat heterogen dan tidak berdiri secara monolitik.
Terakhir, punk secara ekonomi gagal dalam memberikan alternatif atau perlawanan ekonomi terhadap sistem kapitalisme. Bahkan kecendrungan mode of production yang dilakukan komunitas punk Jakarta memiliki benih-benih akumulasi modal di dalam kegiatan berproduksinya. Dengan kata lain, bila komunitas punk Jakarta tidak menyadari dan melakukan refleksi kritis terhadap aktifitas yang dilakukannya, maka tanpa disadari mode of production dari komunitas punk Jakarta yang selama ini dijalankan akan bergerak menuju hukum akumulasi kapital. Bila ini terjadi maka punk akan jatuh kedalam kematian tragisnya (Habis)

handapeunpost

content